Hukum/Peraturan

Sikap Pemerintah RI. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht yang terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1946) yang mengatur:
Pasal 324:
Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 333 (1):
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Pasal 333 (2):
Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 333 (3):
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 333 (4):
Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 dan Pasal 65 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Pasal 297 KUHP:
“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”.
Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengkriminalisasi perdagangan anak dan eksploitasi seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 88.
Pasal 83:
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 88:
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Sikap Pemerintah RI untuk memerangi perdagangan orang dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), serta pengajuan Rencana Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai usul inisiatif Pemerintah ke DPR RI pada tahun 2004. RUU ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2005 berada pada urutan 22 dari 55 RUU yang akan dibahas oleh DPRI Hasil Pemilu 2004.
RAN P3A. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) merupakan rencana aksi yang terpadu lintas program dan lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan kepada korban, tetapi juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya. Implementasi RAN P3A dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bidang penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan peningkatan kualitas pendidikan baik formal,
non-formal maupun informal (pendidikan dalam keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan.
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan.
Tujuan umum RAN-P3A adalah: “Terhapusnya segala bentuk perdagangan perempuan dan anak”.
Sedang tujuan khusus adalah:
1. Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan perempuan dan anak.
2. Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan perempuan dan anak yang dijamin secara hukum.
3. Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat.
4. Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak antar instansi di tingkat nasional dan internasional. Adapun Sasaran RAN-P3A adalah:
1. Teratifikasinya konvensi kejahatan terorganisir antar negara dan dua protokol tentang perdagangan manusia dan anak (The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (1989) on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, dan Prococol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children).
2. Disahkannya Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang tentang Perlindungan Buruh Migran dan aturan-aturan pelaksanaannya.
3. Adanya harmonisasi standar internasional berkaitan dengan dengan perdagangan orang ke dalam hukum nasional melalui revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Keimigrasian dan Undang-undang Peradilan HAM.
4. Diperolehnya peta situasi permasalahan dan kasus-kasus kejahatan perdagangan perempuan dan anak.
5. Peningkatan kuantitas dan kualitas Pusat Pelayanan Krisis untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban perdagangan perempuan dan anak terutama di daerah beresiko.
6. Terjadi penurunan jumlah kasus perdagangan perempuan dan anak serta meningkatnya jumlah kasus yang diproses sampai ke pengadilan minimal 10 % per tahun.
7. Adanya model/mekanisme perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam proses rekruitmen, penyaluran, dan penempatan tenaga kerja utamanya pada penyaluran buruh migran.
8. Pengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban.
9. Adanya jaminan aksesibiitas bagi keluarga, khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial.
10. Terbentuknya jaringan kerja (networking) dalam kemitraan baik di pusat dan daerah, antar daerah, kerjasama antar negara, regional maupun internasional. RAN P3A dilengkapi dengan lampiran yang memuat bentuk-bentuk kegiatan yang terjadwal lengkap dengan penangungjawab kegiatannya, baik di tingkat nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota.